“Ummi,
mas ngantuk ndak mau muroja’ah sekarang”. Ucap Fatih dengan menunjukkan wajah
melas pada Umminya.
“ Mas Fatih kan dari tadi sore main
terus, besok di marah ustadzah kalo gak mau setor hafalan sekarang”. Balas Ummi
dengan sedikit tegas.
Aku pun tersenyum memperhatikan
peristiwa malam itu. Entah mengapa tiap melihat Fatih membuat alasan kepada
orang tuanya agar tidak menyetor hafalan, aku selalu ingin tertawa dikarenakan
wajah melasnya yang pandai sekali ia tunjukkan.
Fatih adalah keponakan pertamaku
yang tinggal dekat dengan rumahku. Ia bersekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu
dan sedang duduk di kelas dua sedangkan adiknya berusia lima tahun. Tidak
berasal dari keluarga penghafal qur’an, namun keluarga kami sangat menginginkan
anaknya untuk bisa menghafal Al-qur’an. Untuk itu sejak dini, Fatih dan adiknya
Naqiya sudah dilatih untuk menghafalkan ayat-ayat qur’an.
Setiap kali aku berkunjung ke rumah
mereka atau sebaliknya, Fatih dan Naqiya selalu melaporkan kepadaku tentang
status hafalan mereka apakah bertambah ataupun mungkin stuck di satu surah. Dengan semangat mereka bercerita tentang
hafalan mereka.
“ Mbak Nafisha, Mas Fatih uda hafal
sampai surah Al-Mutoffifin. Adek Naqiya kalah dia.”
Gerutu Fatih di depanku. Fatih
memposisikan Naqiya layaknya lawan dan sebaliknya. Aku hanya tersenyum dan
kemudian menyemangati mereka berdua.
Pada suatu malam ketika aku
mengunjungi rumah mereka, Fatih menghampiriku yang sedang asyik dengan gadget bercover
merah marun itu. Ah, untuk apasih anak kecil ini mendekatiku. Keluhku dalam
hati.
“Mbak Na, kenapa gak ngaji? Mbak Na
kemarin suruh kita ngaji tapi mbak Na main Hape.” Dengan memalingkan wajahnya,
Fatih langsung melarikan diri mendekati Umminya. Memang, aku juga tak pernah
berpikir mengapa aku begitu malas untuk menghafalkan ayat Al-qur’an seperti
yang dilakukan keponakanku. Terkadang aku berfikir bahwa menghafal itu gampang,
jadi ya santai saja.
Perkataan Fatih semalam hanya aku
anggap sebagai ucapan anak kecil biasa yang tak terlalu bermakna. Aku kembali
kepada rutinitasku sebagai pelajar dengan segudang tugas dan organisasi
internal maupun eksternal sekolah. Sehari – hari aku hanya menjalankan ODOL
(One Day One Ayat), hanya itu amalanku yang paling lancar selain sholat wajib
yang sifatnya memang wajib. Tak ada amalan istimewa yang aku lakukan
sehari-hari.
Aku selalu berangan-angan menjadi
seorang hafidzah, tapi apakah bisa? Apakah keinginan itu tak terlalu
ketinggian? Karena kalau terlalu tinggi, apabila jatuh maka akan sakit sekali.
Sampai-sampai dalam seratus mimpiku kutulis “menjadi seorang hafidzah ketika
berumur 20 tahun”. Entah saat itu aku sedang bermimpi atau kerasukan jin muslim
hingga dengan enteng menulis mimpi
seperti itu.
Aku kembali bermain ke rumah
keponakanku. Tiba-tiba Fatih dan Naqiya menghampiriku dan memaksaku untuk
muroja’ah qur’an. Tak bisa menolak karena mereka akan menangis, maka aku pun
mengiyakan permintaan mereka. Aku yang hanya menghafal tiga qul ( Al-ikhlas,
Al-falaq, An-nas) sungguh aku merasa cukup malu ketika keponakanku memintaku
untuk mendengarkan dan mengoreksi hafalan mereka yang sudah jauh melampaui
diriku.
“ Mbak Na, surah At-Takwir ya, kalo
Naqiya surah Az-Zalzalah.” Aku hanya bisa menelan air liurku saja. Sungguh kali
ini aku malu. Mereka tak mengizinkanku mengoreksi mereka dengan membaca juz
amma. Sekarang aku harus apa? Bagaimana kalau mereka lupa ayatnya atau
kebolak-balik atau tersendat-sendat? Bagaimana caraku memperbaikinya sedangkan
aku hanya menghafal tiga qul dan surah yasin saja. Ah entahlah, jika mereka
tersendat dan lupa dengan ayat setelahnya katakan saja pada mereka bahwa ini
hampir magrib dan hafalannya dicukupkan sampai di sini, hafalkan lain kali
saja. Begitulah pikirku.
Begitulah
alasan bodoh yang ada dalam pikiranku saat itu karena kekuranganku sendiri.
Tanpa merasa bersalah, akupun melakukan hal itu. Dan mereka berdua kecewa
padaku malam itu karena sosok seorang kakak yang seharusnya ada padaku telah
sirna, sosok yang seharusnya membantu, mendengar, dan memperbaiki sesuatu yang
salah telah hilang. Mungkin itu yang ada
dalam pikiran mereka. Walaupun mereka masih tergolong anak-anak, siapa yang
tahu mereka berpikiran seperti itu. Rasa kecewa tak mereka tunjukkan dengan
ekspresi wajah marah ataupun sedih, namun mereka langsung berlari menjauhiku
dan mendekati Umminya seraya berkata,
“ Muroja’ah sama Ummi aja, gak bakal
salah hafalannya.” Perkataan yang singkat namun hatiku cukup terenyuh
mendengarnya. Aku seperti terpojokkan oleh perkataan anak-anak kecil ini.
Peristiwa semalam tersebut membuatku
berpikir cukup panjang. Kapan aku bisa menjadi seorang kakak yang pantas bagi
mereka? Hanya sekedar mendengarkan dan mengoreksi mereka ketika mereka
menghafal qur’an di hadapanku. Hanya itu saja keinginan mereka. Kemudian aku
berpikir tentang masa depanku. Bagaimana kalau hal yang sama akan ku alami
ketika aku nanti menjadi seorang ibu? Sedangkan aku memiliki keinginan agar
anak-anakku kelak dapat menghafalkan Al-qur’an namun aku sendiri hanya
menghafal tiga qul hingga aku dewasa. Tidakkah itu hal yang aneh? Besar pasak
daripada tiang! Itulah diriku sekarang dan nanti apabila aku tidak merubah mindset ku mulai sekarang.
Entahlah, malam itu aku benar-benar
seperti tertonjok oleh benda keras yang membuat kepala dan perutku sakit. Kualihkan
pikiranku dengan bermain gadget, agar bermain gadget-ku mendapat berkah, aku
membuka line sembari mencari-cari murrotal terbaik di google beserta hafidznya.
Tak sengaja pada beranda google aku menemukan seorang hafidz berwajah oriental dan
tentunya masih muda bernama Fatih Seferagic. Kebiasaan seorang remaja perempuan
apabila melihat wajah laki-laki yang sedikit saja menebarkan pesona kesolehan
maka langsung di kepo-in. Seperti itulah aku. Aku langsung mencari tahu siapa
Fatih Seferagic itu, kebetulan namanya sama seperti nama keponakanku sehingga
menambah kadar keingintahuanku.
Bola mataku naik-turun memandangi screen gadgetku. Ternyata Fatih
Seferagic adalah seorang hafidz muda berusia 18 tahun dari Amerika Serikat.
Singkat cerita saja, ia sudah memulai menghafal qur’an sejak usia 9 tahun dan
mampu menghafal qur’an dalam kurun waktu tiga tahun. Subhanallah! Suatu pencapaian yang luar biasa. Dan satu hal yang
memotivasiku, ternyata masih ada remaja yang mau menghafal qur’an diantara
banyak kehidupan berfoya-foya di luar sana. Apalah aku yang masih hidup tenang
di bumi Indonesia yang masuk nominasi negeri dengan penduduk muslim terbanyak.
Apakah sudah ada usahaku selama ini untuk mempelajari ayat-ayat Allah? Untuk
mempelajari apa yang menjadi pedoman kehidupan manusia? Selama ini aku sadar
bahwa aku hanya sekedar membaca, tanpa tau apa yang aku baca, tanpa mengerti
apa maksudnya, dan tanpa usaha untuk mengkajinya.
Sekarang, aku mulai banyak mendownload murrotal Fatih Seferagic, dan
setahap demi setahap aku hapus koleksi lagu baratku dan kuganti dengan murrotal
qur’an. Yang awalnya aku ingin mendownload
video dan murrotalnya hanya karena hafidznya ganteng, sekarang niat itu
berubah yakni lillahita’la, in sya Allah.
Tentunya aku pun tak mau kalah dengan anak SD yang sudah hampir menghafal keseluruhan
juz 30.
Dan saat ini kusadari, betapa
pentingnya kita membaca, mengkaji dan menghafal ayat-ayat Allah SWT. Agar kita
mengerti maksud serta tujuan penciptaan langit dan bumi beserta isinya dan agar
kehidupan kita lebih tertata. Karena sesungguhnya Al-qur’an adalah pedoman
hidup umat manusia. Untuk itu, aku mulai membulatkan tekad dan menuliskan dalam
daftar agenda sehari-hariku bahwa harus ada waktu tertentu di mana aku mengkaji
Qur’an tidak cukup hanya membacanya. Di dalam kamarku tepat di samping tulisan
jadwal pelajaran ku tertulis “sempatkan
10-15 menit tiap hari ba’da sholat maghrib untuk menghafal juz 30 serta
mempelajari arti Al-Qur’an.” Aku tentu memiliki harapan yang besar, harapan
bahwa itu tidak hanya sekedar tulisan apalagi pajangan kamar. Aku sungguh ingin
hal itu terealisasikan segera tak peduli seberapa sibuk diriku dan seberapa
lelah diriku.
Terlepas dari hal itu semua, aku tentu
sangat ingin berterimakasih kepada kedua orang tuaku. Karena berkat mereka lah
hafalanku terhadap Qur’an tidak nol sama sekali. Semasa aku kecil hingga
sekarang kedua orang tuaku sering mengaji entah di kamarku ataupun di
sampingku, sehingga beberapa ayat cukup melekat di ingatanku hingga kini.
Akupun menjadi tidak asing dengan Al-Qur’an. Walaupun tidak tau apa nama surah
yang dibacakan mereka berdua, namun bila diminta untuk meneruskan aku spontan
akan melanjutkan hingga tiga sampai empat ayat. Tak mau riya’ dengan hal itu semua, akhir-akhir ini aku terus berusaha
untuk menambah hafalanku dan terus mengulanginya namun tetap saja karena
banyaknya maksiat yang tak lepas dari diriku yang membuat hafalanku cepat
hilang. Untuk itu, salah satu cara cepat agar aku lebih mudah menghafal dan
tergerak keinginaku untuk menghafal adalah dengan muroja’ah bersama dua
keponakanku. Mendengarkan, mengikuti dengan gerakan mulut tanpa suara,
memperbaiki dan melanjutkan apabila mereka tesendat-sendat.
Begitulah kisah awal bagaimana aku
mulai bersemangat untuk menghafal Al-Qur’an. Terinspirasi dari dua anak kecil
dan salah seorang hafidz muda berkebangsaan Amerika Serikat. Terkadang,
keinginan yang besar tidak akan tercapai tanpa usaha yang besar pula dan usaha
yang besar tidak akan terjadi tanpa adanya pergerakan (perubahan) dan semangat
untuk usaha tersebut. Seperti rumus fisika yang kita ketahui bersama bahwa,
W=
F x S, dimana W adalah usaha serta F adalah gaya (semangat) untuk berusaha dan
S adalah perpindahannya (hijrah). Apabila perpindahannya negatif dalam arti
berpindah ke arah yang lebih buruk, maka hasil usahanya adalah negatif pula.
sedangkan apabila tidak ada semangat dalam melakukan usaha atau F= 0, maka
usahanya nol pula. Begitulah sebaliknya.
Jadi sahabat, mulailah dari sekarang
untuk berhijrah ke arah yang lebih baik serta merubah midnset kita bahwa mempelajari ataupun menghafal Al-Qur’an bukanlah
hal yang dapat membuang-buang waktu dalam sisa hidup kita melainkan akan
menambah derajat kita sebagai seorang muslim. Barakallah.
No comments:
Post a Comment