I
AM AN INTROVERT
Pagi merupakan saat yang misterius
bagiku karena pagi menyimpan banyak hal yang tak terduga. Siapa yang tahu
apakah pagi akan menyambut kita dengan kebahagiaan atau kesedihan? Ataukah pagi
akan memberikan hari yang indah untuk dijalani atau sebaliknya. Tidak ada yang
tahu selain Yang Maha Tahu. Seperti itulah aku, tak ada yang tahu jati diriku.
Sang surya mulai menyingsing dari
balik pegunungan. Semburat mega merah mewarnai luasnya lazuardi. Rembulan tak
bercahaya masih nampak di atas langit. Pagi selalu seperti itu. Walau misterius
namun ia tetap memberikan pemandangan yang indah.
Aku masih di dalam kamar berkutat
dengan laptop hitamku. Jemariku lihai menekan tombol-tombol keyboard. Aku asyik sendiri.
“Harben! Cepat turun! makananmu sudah
dingin.“ Teriak Ibu dari dapur lantai dasar. Aku tak membalas. Hanya diam
pura-pura tak mendengar.
Masih bermain dengan tombol keyboard laptop dan kemudian aku
memandang jam dinding kamarku. Jarum jam menunjukkan pukul 06.40 waktu Jakarta.
Segera aku tersadar untuk bergegas merapikan laptopku dan turun ke lantai dasar
untuk menghabiskan sarapanku. Belum selesai aku merapikan laptop, pintuku di
ketuk seseorang dengan keras.
“ Tok tok tok....... Harben! Segera
turun dan habiskan sarapan kau. Ayah tak mau melihat kau terlambat.” Ucap Ayah
dengan logat keras Bataknya.
“ Iya , Yah. Sebentar lagi.” Balasku
singkat.
“ Apa yang kau mainkan di dalam
kamar? Tak tau kah kau ini sudah jam berapa?” Suara Ayah terdengar semakin
jengkel.
Ku langkahkan kakiku menuruni tangga
dan kulihat Ayah sedang menghabiskan sarapannya, dengan penampilannya yang gagah
ia sudah siap berangkat ke kantor. Sedangkan, adikku Rhino dengan celemek di
lehernya serta mulut yang belepotan sedang menikmati sarapannya. Di ujung dapur,
Ibu selalu sibuk dengan perkakas dapur entah mencuci atau pun merapikannya.
Beliau belum sarapan sampai kami bertiga pergi. Begitulah kondisi yang selalu
kusaksikan setiap pagi. Aku segera mengambil posisiku di meja makan
berdampingan dengan Ayah. Tak ada pembicaraan selama aku makan. Kami bertiga
sibuk menghabiskan sarapan masing-masing.
“Apa yang kamu lakukan di atas sana,
Harb? Kamu selalu saja lama.” Suara Ibu pelan namun tegas.
“Tidak ada, Bu.” Aku memang sangat flat ketika membalas perkataan orang. Siapapun.
“Ayo, segera habiskan anak-anak. ”
Sambil memandang kami, Ayah terlihat sangat tidak tenang karena khawatir akan
terlambat.
Deru kendaraan di jalanan ibukota
Jakarta terdengar sangat bising. Suara klakson bersahut-sahutan tak mau kalah
satu dengan yang lain. Asap knalpot kendaraan yang mengepul menyesakkan dada.
Aku menjadi pusing dan mual bila terlalu lama berada dalam kemacetan. Kondisi
seperti ini tak luput dari pandanganku tiap hari dan tiap pagi. Jalanan di Jakarta
hanya lengang ketika Idul Fitri tiba, karena semua warga berada di kampung
halaman masing-masing.
Di dalam mobil, aku dan Ayah hanya
terdiam. Sedangkan, Rhino sibuk bernyanyi menyanyikan lagu kesukaannya. Rhino
duduk di depan berdampingan dengan Ayah dan aku duduk sendiri di tengah. Tak
ada hal yang kulakukan selama perjalanan menuju sekolah. Aku hanya memandang ke luar kaca jendela dan
sesekali menatap Ayah melalui kaca depan. Sebenarnya, aku terbiasa berangkat sendiri
dengan mengendarai motorku. Namun, tidak untuk hari ini.
Seperti biasa, kubuka pintu mobil
setelah aku bersalaman dengan Ayah. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari
bibirku saat itu. Aku merasa dengan menyalami tangan Ayah saja sudah bagaikan
sebuah isyarat selamat tinggal.
“Nanti pulang bareng temen kau saja.
Ayah pulang malam.” Tukasnya. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.
Langkahku gontai ketika berjalan di
sepanjang koridor kelas. Tak ada satupun siswa yang menyapaku. Aku sudah biasa
dengan hal seperti itu. Memasuki ruang kelas pun sepertinya kedatangan ku tak
dianggap. Aku tahu ketika aku memasuki ruang kelas teman-temanku seperti tak
memperdulikanku, namun mata mereka menatapku dengan tatapan menyebalkan. Tapi hal
itu tak terjadi pada Radu dan Mirchea. Teman yang kuanggap paling baik padaku.
Radu langsung menyapaku sesaat setelah aku sampai di tempat duduku.
“ Hai, Harb! Gak telat lagi ya!
Bersyukurlah.” Sapanya menyambut pagiku.
“ Iya, gak telat lagi.” Aku membalasnya
dengan segaris senyuman. Sepertinya Radu ingin menyampaikan banyak informasi
kepadaku namun ia terlihat sedikit canggung.
“Sudah lihat jadwal baru belum?” Benar
apa yang kupikirkan. Radu memulai percakapan lagi.
“ Belum.” Begitu singkat dan
menyebalkan jawabanku. Begitulah diriku.
“ Aku sudah memotonya. Itu jadwal ujian
praktek terbaru, nanti akan aku kirim ya!” Dengan menaikkan kedua alisnya, Radu
selalu mencoba membuat pembicaraan menjadi ringan.
Jam pertama ternyata guru matematika
kami yaitu Pak Vlad tidak hadir, tanpa keterangan dan informasi apa pun.
Seperti biasa kelas selalu riuh ramai ketika guru tidak hadir. Aku tidak
berkata bahwa aku senang jika guru tidak hadir, namun aku akan berdusta bila
aku berkata tidak senang. Jadi yang aku rasakan adalah ketidaknyamanan. Aku
tidak nyaman ketika melihat suasana kelas terlalu ribut. Aku merasa pusing dan
aku berpikir untuk menjauhkan diriku dari keramaian kelas.
Ketika kondisi kelas begitu ribut,
aku menyandarkan diriku di bangku dan menutup kepala serta wajahku dengan
gorden kelas yang dekat dengan tempat dudukku. Aku merasa lebih baik ketika
melakukan hal itu. Memandangi kondisi luar kelas dari kaca jendela lebih
mengasyikkan bagiku dan kadang tertawa sendiri menyaksikan kekonyolan siswa
lain di lapangan yang terlihat dari kaca jendela itu. Terkadang, aku juga melukis-lukis
debu di jendela dengan namaku atau tulisan lainnya. Asyik. Tak ada yang
mengganggu.
“ Harb! Woy!” Seseorang menyolek
pundakku dan suaranya cukup mengagetkan. Kubuka gorden yang sedari tadi
menutupi wajah dan kepalaku. Kubalikkan badan karena seseorang memanggilku dari
arah belakang. Senyum manis seorang gadis terlihat. Mirchea. Dialah gadis
dengan senyuman manis yang duduk tepat di belakang tempat dudukku. Aku terdiam
lama memandangi Mirchea. Lelaki mana yang tidak tergelitik hatinya ketika
mendapat senyuman dari seorang gadis manis? Sepertinya semua lelaki normal akan
merasakan apa yang aku rasakan.
“ Harb! Jangan bengong!” Dikibaskan
buku tulisnya tepat di depan wajahku.
“ Iya! Kenapa?” Diriku kembali
tersadar.
“Bantuin kerjain ni soal, satu soal
aja nih.” Sambil menyodorkan buku paket matematika miliknya. Pintanya dengan
memelas. Wajah manisnya memelas.
“Sebentar aku hitung dulu.” Sambil
mengoret-oret hitunganku aku sadar bahwa tanganku bergetar. Kembali terasa
saraf otakku tak bisa diajak berkompromi. Kenapa harus memerintahkan tanganku
untuk bergetar? Tak tahukah bahwa aku sedang menulis?
Aku segera membalikkan badanku
membelakangi Mirchea. Aku tak mau ia melihat gerakanku yang aneh. Aku tak mau
ia menganggapku aneh.
“ Susah ya? Kok lama banget?” Suara Mirchea
terdengar sedikit kesal padaku. Ia sepertinya bosan dan berdiri dari bangkunya
menuju tempat duduk ku. Jangan ke sini!
Batinku.
“Belum?” Suara Mirchea tepat di
kepalaku. Sontak aku melepas pensilku dan memberikan hasil hitunganku
kepadanya.
“Sudah ketemu, semoga mengerti.” Aku
menjawabnya sambil mempertahankan posisiku dan aku tak mau menatap Mirchea.
“Oke Harb! Good job. Makasih ya.”
Mirchea selalu ramah dan ceria dengan siapa pun dia berhadapan walaupun denganku
si pria dingin dan aneh.
Aku membalikkan tubuhku seketika.
“ Mirchea! aku ingin bercerita.”
Namun, ia hanya tersenyum dan membuka telapak tangannya tanda bahwa aku jangan
berbicara. Aku langsung terdiam.
Aku kembali menutup kepalaku dengan
gorden hijau itu. Melihat kondisi di luar dan ternyata langit mulai gerimis.
Lapangan bola terlihat hampir basah seluruhnya. Pikiranku terpusat pada kondisi
yang baru saja terjadi dan mengaitkannya dengan kejadian sebelumnya. Ya, aku
memikirkan mengapa tanganku tiba-tiba gemetar tiap kali aku berhadapan dengan
seseorang selain keluargaku. Tidak hanya itu saja, setiap kali aku menunjukkan
diriku di depan khalayak ramai aku selalu tidak nyaman dan beberapa anggota
tubuku bergetar secara tiba-tiba. Aku tak pernah mengerti mengapa diriku
seperti ini. Dan mengapa Mirchea kali ini tak mau mendengarku? Aku mengepalkan
tangan kananku dan memberikan tinjuku pada meja di depanku. Aku terus seperti
itu hingga tak kusadari jari-jemariku memerah. Sakit memang, namun aku lebih
tenang setelah menyakiti diriku.
Malam mulai larut. Aku masih
berkutat dengan buku fisika dan secangkir kopi susu di meja belajarku. Jam
dinding menujukkan pukul 01.00 dini hari dan aku masih terjaga. Esok akan ada
ulangan fisika sehingga malam ini aku rela begadang. Terdengar seseorang
mengetuk pintu kamarku dan cukup membuyarkan pikiranku.
“Harben. Tidur, Nak. Besok subuh
lagi dilanjutkan.” Pinta Ibu dengan halus dari balik pintu kamarku.
“Sebentar lagi, Bu.” Sahutku pelan.
Ibu memang selalu penuh perhatian. Tiap malam ia naik ke kamarku untuk
memastikan apakah aku masih terjaga dengan nyala lampu di kamarku dan ia akan
membuka pintu kamarku ketika tak ada sahutan dariku.
“Mau dibuatkan roti? Atau sudah mau
tidur, Nak?” Kembali Ibu bertanya. Kukira Ibu sudah kembali turun.
“Sudah selesai, Bu.”
Aku terbangun tiba-tiba. Kepalaku
terasa sangat pening. Aku terlonjak dari kasurku setelah menyadari sudah pukul
06.15. Subuhku terlewat. Payah! Aku benar-benar payah. Segera aku bergegas dan
melaksanakan sholat subuh walaupun sudah lewat waktu. Dengan gesit aku menuju
meja makan dan keluargaku sudah menunggu di bawah. Ayah dengan raut wajah datar
sepertinya mengetahui bahwa subuhku terlewat.
“ Baru sholat ya?” Tanya Ayah
tiba-tiba padaku.
“ Maaf, Yah.”
“Jangan minta maaf ke Ayah, kau tau
kepada siapa kau harus meminta maaf!” Nada Ayah meninggi.
“Ayah bangunkan kau pukul lima,
Harb. Namun Ayah kaget ketika kau bilang jangan ganggu aku. Kau mendorong
Ayah.” Ucapan Ayah membuatku mengernyitkan dahi. Apa benar perkataan Ayah barusan? Mengapa
aku begitu beringas? Aku bertanya dalam hati.
“Sudah, habiskan dulu sarapannya dan
segera berangkat.” Perintah Ibu pada kami.
Pagi ini aku berangkat sendiri
mengendarai motorku. Sepanjang perjalanan menuju sekolah aku masih terngiang
akan cerita Ayah beberapa menit lalu. Setan apa yang telah merasuki tubuhku
ketika aku tidur semalam? Atau aku hanya terlalu lelah? Entahlah, memang akulah
si aneh.
Seperti biasa hari-hariku di sekolah
tak ada yang istimewa. Aku akan selalu menjadi anak yang tak dipedulikan oleh
yang lainnya. Hari ini aku ulangan fisika dan aku telah mempersiapkan diriku
sebaik mungkin. Ketika merapikan tempat duduk, Mirchea yang duduk tepat di belakangku
kembali menyolek pundakku.
“Semangat! Kamu pasti seratus, Harb.
Bosan aku liat seratus terus.” Seperti menyemangati namun juga mengejek.
Entahlah.
Stuck!
Keringat bercucuran dari kepalaku. Aku kesulitan menjawab semua soal-soal ini.
Apa yang telah kupelajari semalam hilang. Buyar pikiranku! Aku menoleh ke
kanan-kiri memastikan kondisi sekitar. Semua terlihat baik-baik saja dan fokus
mengerjakan soal. Tapi yang terjadi padaku malah sebaliknya. Aku kehilangan
konsentrasi mendadak. Detak jantungku terasa lebih cepat dari sebelumnya dan
jari-jemariku terasa dingin. Bel pun berbunyi. Waktu mengerjakan ulangan sudah
habis dan aku tak bisa menjawab soal hingga tuntas.
Ketika semua siswa meninggalkan
kelas untuk istirahat aku lebih memilih mengambil posisi ternyamanku. Duduk di
pojokan bersandarkan tembok. Aku memandang papan tulis tak berkedip. Kembali
aku mengepalkan tangan namun kali ini aku memberikan tinju ku pada tembok
tempat ku bersandar.
“ Duk..duk..duk..” Hingga suaranya
semakin cepat tak ada jeda. Aku kesal! Aku marah pada diriku. Kutendang kaki
meja kayu ku berkali-kali. Aku belum juga mendapat ketenangan. Ku keluarkan
sumpah serapah dari mulutku. Aku marah! Benar-benar marah.
“Harb! Kenapa?” Suara Radu begitu keras
ketika memasuki pintu dan menyaksikan aku bertingkah aneh untuk kesekian
kalinya. Radu dengan cepat memegang tanganku. Membuatku tak bisa menggerakkan
tanganku.
“Tenang, Harben. Tenang.” Hanya ada
Radu dan aku di ruangan itu. Perlahan aku bisa mengontrol emosiku. Aku kemudian
terdiam dan menatap Radu. Aku sadar apa yang aku lakukan beberapa detik lalu
sangat aneh dan Radu sudah biasa dengan itu. Tak sepatah kata pun keluar dari
mulut Radu setelah aku kembali tenang.
Beberapa jam setelah kelakuan anehku
Radu pun berbicara.
“Karena ulangan fisika lagi?”
Pertanyaan yang terlontar darinya seperti ia sudah sangat tahu betul penyebab
kelakuan aneh diriku.
“Ya. Aku marah dengan diriku
sendiri. Aku marah!” Aku berteriak hingga Radu terlihat sedikit kaget.
“Kamu memang selalu begitu kan?”
Suara Mirchea dari belakang memecah kegentingan antara aku dengan Radu.
“Aku dan Radu sudah terbiasa dengan
tingkahmu, Harb. Sekarang hanya dirimu yang bisa mengontrolnya.” Suasana menjadi hening sejenak.
“Kau seharusnya sudah lebih kuat
mengontrol dirimu. Bukan aku dan Radu yang harus terus memulai.” Kalimat
terakhir Mirchea tadi sedikit menggangguku. Aku tak mengerti maksud
perkatannya.
Aku dan Radu saling bertatapan tak
mengerti mengapa Mirchea seperti tahu akan hal yang terjadi ketika jam
istirahat tadi. Radu segera membalikkan badan menghadap Mirchea dan entah apa
yang ia katakan pada Mirchea sehingga Mirchea berpindah tempat duduk.
“ Aku tidak akan menanyakan hal yang
tadi. Anggap saja tidak terjadi apa-apa, Harb. Kutinggal sebentar.” Suara Radu
pelan dan kemudian dia meninggalkanku duduk sendirian.
Aku memandang sekitar. Mirchea sudah
tidak ada di dalam kelas dan sepertinya ia keluar bersama Radu. Kulihat dari
kaca jendela dan mereka berdua tidak ada di depan kelas. Pasti mereka sedang membicarakanku. Pikirku.
Aku menyibukkan diriku dengan
membolak-balikkan buku paket sejarah yang ada di atas meja. Beberapa teman
mungkin ada yang memperhatikan dan menyadari bahwa aku tidak benar-benar sedang
membaca melainkan hanya membolak-balik lembar demi lembarnya. Radu dan Mirchea
belum juga kembali ke kelas.
Baru saja aku akan keluar karena aku
bosan, Mirchea masuk dan tak sedikit pun menatapku. Kemudian tak lama disusul
Radu yang langsung memberikan senyuman kaku kepada ku. Apa yang mereka bicarakan? Mengapa Mirchea seperti tak mau menatapku?
Aku membatin dalam hati.
Matahari sudah siap kembali ke peraduan.
Mega merah menghiasi langit sore. Selalu indah dan akan tetap indah. Dan aku
juga kembali ke rumah ku untuk berkumpul bersama keluarga, tidak benar-benar
berkumpul hanya sekedar saling bertatap muka satu sama lain.
Handphone
ku tiba-tiba bergetar tanda pesan masuk. Aku tak mengetahui nomor siapa
yang tertera di layarnya namun aku penasaran dengan isi pesan tersebut. Isinya
seperti ini :
Harben,
maaf...Aku bukan sok tahu. Hanya aku memang tahu dirimu sejak lama.
Aku
tak pernah menganggap dirimu aneh sama sekali karena aku tahu kau berbeda.
Setiap
hari aku bersikap sama kepada semua orang dan juga kepadamu karena apa, karena
aku tak mau membuatmu berpikiran bahwa kau aneh. Aku selalu meminta Radu
mendekatimu agar kau merasa bahwa masih ada teman yang peduli padamu. Radu
memarahiku tadi karena aku berkata yang tak pantas menurutnya. Tapi bagiku,
kalimatku tadi tidak salah. Aku tahu kau memiliki duniamu yang lain, Harben.
Dunia yang tak satu orang pun tahu dan yang kau ragukan. Kau hanya harus mampu
mengontrol dirimu sekarang.
Tak perlu pikir panjang aku langsung
dapat menebak pesan ini dari Mirchea. Aku baca pesan itu berulang dan aku baru
menyadari satu hal. Setelah tiga tahun aku menghabiskan masa SMA ku, kusadari
bahwa hanya Radu dan Mirchea lah teman yang benar-benar peduli padaku dan yang
selalu menahanku untuk menyakiti diriku. Bahkan, orang tuaku di rumah tidak
pernah seperti itu.
Ketika
emosi ku tak terkontrol di rumah, aku akan menggigit bibirku sampai berdarah dan
itu menandakan bahwa aku sangat kesal. Namun siapa yang tahu? Siapa yang
peduli? Ketika di sekolah aku duduk sendiri di pojokan melakukan hal yang hanya
aku saja yang menikmatinya, siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Hanya Radu dan
Mirchea. Aku bukan malu untuk berinteraksi dengan orang-orang. Aku bukan
seorang lelaki pesakitan yang memiliki kelainan kejiwaan. Aku bukan anti sosial
yang tak peduli dengan sekitarku. Dibalik diamku, aku mendengar dan aku
memperhatikan semuanya tapi aku enggan untuk masuk ke dalamnya. Karena itu, aku
memiliki dunia di mana hanya aku saja tahu. Duniaku nyaman dan kurasa tak perlu
kujelaskan kepada orang-orang seperti apa duniaku. Tapi dibalik diamku, aku
juga merasa diriku aneh, aku sadari itu.
Sampai
saat ini aku hanya akan lebih leluasa untuk menceritakan siapa diriku dengan
Radu dan Mirchea. Dalam diamku, aku menganggap mereka istimewa. Begitu juga
dengan orang tuaku. Aku tetap menaruh hormat kepada kedua orang tuaku. Hanya
saja aku lebih memilih diam tak mengekspresikannya. Bahkan diamku akan selalu
kupelihara. Entah sampai kapan.
No comments:
Post a Comment