Sunday, May 8, 2016

I AM AN INTROVERT

I AM AN INTROVERT
            Pagi merupakan saat yang misterius bagiku karena pagi menyimpan banyak hal yang tak terduga. Siapa yang tahu apakah pagi akan menyambut kita dengan kebahagiaan atau kesedihan? Ataukah pagi akan memberikan hari yang indah untuk dijalani atau sebaliknya. Tidak ada yang tahu selain Yang Maha Tahu. Seperti itulah aku, tak ada yang tahu jati diriku.
            Sang surya mulai menyingsing dari balik pegunungan. Semburat mega merah mewarnai luasnya lazuardi. Rembulan tak bercahaya masih nampak di atas langit. Pagi selalu seperti itu. Walau misterius namun ia tetap memberikan pemandangan yang indah.

            Aku masih di dalam kamar berkutat dengan laptop hitamku. Jemariku lihai menekan tombol-tombol keyboard. Aku asyik sendiri.
            “Harben! Cepat turun! makananmu sudah dingin.“ Teriak Ibu dari dapur lantai dasar. Aku tak membalas. Hanya diam pura-pura tak mendengar.
            Masih bermain dengan tombol keyboard laptop dan kemudian aku memandang jam dinding kamarku. Jarum jam menunjukkan pukul 06.40 waktu Jakarta. Segera aku tersadar untuk bergegas merapikan laptopku dan turun ke lantai dasar untuk menghabiskan sarapanku. Belum selesai aku merapikan laptop, pintuku di ketuk seseorang dengan keras.
            “ Tok tok tok....... Harben! Segera turun dan habiskan sarapan kau. Ayah tak mau melihat kau terlambat.” Ucap Ayah dengan logat keras Bataknya.
            “ Iya , Yah. Sebentar lagi.” Balasku singkat.
            “ Apa yang kau mainkan di dalam kamar? Tak tau kah kau ini sudah jam berapa?” Suara Ayah terdengar semakin jengkel.
            Ku langkahkan kakiku menuruni tangga dan kulihat Ayah sedang menghabiskan sarapannya, dengan penampilannya yang gagah ia sudah siap berangkat ke kantor. Sedangkan, adikku Rhino dengan celemek di lehernya serta mulut yang belepotan sedang menikmati sarapannya. Di ujung dapur, Ibu selalu sibuk dengan perkakas dapur entah mencuci atau pun merapikannya. Beliau belum sarapan sampai kami bertiga pergi. Begitulah kondisi yang selalu kusaksikan setiap pagi. Aku segera mengambil posisiku di meja makan berdampingan dengan Ayah. Tak ada pembicaraan selama aku makan. Kami bertiga sibuk menghabiskan sarapan masing-masing.
            “Apa yang kamu lakukan di atas sana, Harb? Kamu selalu saja lama.” Suara Ibu pelan namun tegas.
            “Tidak ada, Bu.” Aku memang sangat flat ketika membalas perkataan orang. Siapapun.
            “Ayo, segera habiskan anak-anak. ” Sambil memandang kami, Ayah terlihat sangat tidak tenang karena khawatir akan terlambat.
            Deru kendaraan di jalanan ibukota Jakarta terdengar sangat bising. Suara klakson bersahut-sahutan tak mau kalah satu dengan yang lain. Asap knalpot kendaraan yang mengepul menyesakkan dada. Aku menjadi pusing dan mual bila terlalu lama berada dalam kemacetan. Kondisi seperti ini tak luput dari pandanganku tiap hari dan tiap pagi. Jalanan di Jakarta hanya lengang ketika Idul Fitri tiba, karena semua warga berada di kampung halaman masing-masing.
            Di dalam mobil, aku dan Ayah hanya terdiam. Sedangkan, Rhino sibuk bernyanyi menyanyikan lagu kesukaannya. Rhino duduk di depan berdampingan dengan Ayah dan aku duduk sendiri di tengah. Tak ada hal yang kulakukan selama perjalanan menuju sekolah.  Aku hanya memandang ke luar kaca jendela dan sesekali menatap Ayah melalui kaca depan. Sebenarnya, aku terbiasa berangkat sendiri dengan mengendarai motorku. Namun, tidak untuk hari ini.
            Seperti biasa, kubuka pintu mobil setelah aku bersalaman dengan Ayah. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirku saat itu. Aku merasa dengan menyalami tangan Ayah saja sudah bagaikan sebuah isyarat selamat tinggal.
            “Nanti pulang bareng temen kau saja. Ayah pulang malam.” Tukasnya. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.
            Langkahku gontai ketika berjalan di sepanjang koridor kelas. Tak ada satupun siswa yang menyapaku. Aku sudah biasa dengan hal seperti itu. Memasuki ruang kelas pun sepertinya kedatangan ku tak dianggap. Aku tahu ketika aku memasuki ruang kelas teman-temanku seperti tak memperdulikanku, namun mata mereka menatapku dengan tatapan menyebalkan. Tapi hal itu tak terjadi pada Radu dan Mirchea. Teman yang kuanggap paling baik padaku. Radu langsung menyapaku sesaat setelah aku sampai di tempat duduku.
            “ Hai, Harb! Gak telat lagi ya! Bersyukurlah.” Sapanya menyambut pagiku.
            “ Iya, gak telat lagi.” Aku membalasnya dengan segaris senyuman. Sepertinya Radu ingin menyampaikan banyak informasi kepadaku namun ia terlihat sedikit canggung.
            “Sudah lihat jadwal baru belum?” Benar apa yang kupikirkan. Radu memulai percakapan lagi.
            “ Belum.” Begitu singkat dan menyebalkan jawabanku. Begitulah diriku.
            “ Aku sudah memotonya. Itu jadwal ujian praktek terbaru, nanti akan aku kirim ya!” Dengan menaikkan kedua alisnya, Radu selalu mencoba membuat pembicaraan menjadi ringan.
            Jam pertama ternyata guru matematika kami yaitu Pak Vlad tidak hadir, tanpa keterangan dan informasi apa pun. Seperti biasa kelas selalu riuh ramai ketika guru tidak hadir. Aku tidak berkata bahwa aku senang jika guru tidak hadir, namun aku akan berdusta bila aku berkata tidak senang. Jadi yang aku rasakan adalah ketidaknyamanan. Aku tidak nyaman ketika melihat suasana kelas terlalu ribut. Aku merasa pusing dan aku berpikir untuk menjauhkan diriku dari keramaian kelas.
            Ketika kondisi kelas begitu ribut, aku menyandarkan diriku di bangku dan menutup kepala serta wajahku dengan gorden kelas yang dekat dengan tempat dudukku. Aku merasa lebih baik ketika melakukan hal itu. Memandangi kondisi luar kelas dari kaca jendela lebih mengasyikkan bagiku dan kadang tertawa sendiri menyaksikan kekonyolan siswa lain di lapangan yang terlihat dari kaca jendela itu. Terkadang, aku juga melukis-lukis debu di jendela dengan namaku atau tulisan lainnya. Asyik. Tak ada yang mengganggu.
            “ Harb! Woy!” Seseorang menyolek pundakku dan suaranya cukup mengagetkan. Kubuka gorden yang sedari tadi menutupi wajah dan kepalaku. Kubalikkan badan karena seseorang memanggilku dari arah belakang. Senyum manis seorang gadis terlihat. Mirchea. Dialah gadis dengan senyuman manis yang duduk tepat di belakang tempat dudukku. Aku terdiam lama memandangi Mirchea. Lelaki mana yang tidak tergelitik hatinya ketika mendapat senyuman dari seorang gadis manis? Sepertinya semua lelaki normal akan merasakan apa yang aku rasakan.
            “ Harb! Jangan bengong!” Dikibaskan buku tulisnya tepat di depan wajahku.
            “ Iya! Kenapa?” Diriku kembali tersadar.
            “Bantuin kerjain ni soal, satu soal aja nih.” Sambil menyodorkan buku paket matematika miliknya. Pintanya dengan memelas. Wajah manisnya memelas.
            “Sebentar aku hitung dulu.” Sambil mengoret-oret hitunganku aku sadar bahwa tanganku bergetar. Kembali terasa saraf otakku tak bisa diajak berkompromi. Kenapa harus memerintahkan tanganku untuk bergetar? Tak tahukah bahwa aku sedang menulis?
            Aku segera membalikkan badanku membelakangi Mirchea. Aku tak mau ia melihat gerakanku yang aneh. Aku tak mau ia menganggapku aneh.
            “ Susah ya? Kok lama banget?” Suara Mirchea terdengar sedikit kesal padaku. Ia sepertinya bosan dan berdiri dari bangkunya menuju tempat duduk ku. Jangan ke sini! Batinku.
            “Belum?” Suara Mirchea tepat di kepalaku. Sontak aku melepas pensilku dan memberikan hasil hitunganku kepadanya.
            “Sudah ketemu, semoga mengerti.” Aku menjawabnya sambil mempertahankan posisiku dan aku tak mau menatap Mirchea.
            “Oke Harb! Good job. Makasih ya.” Mirchea selalu ramah dan ceria dengan siapa pun dia berhadapan walaupun denganku si pria dingin dan aneh.
            Aku membalikkan tubuhku seketika.
            “ Mirchea! aku ingin bercerita.” Namun, ia hanya tersenyum dan membuka telapak tangannya tanda bahwa aku jangan berbicara. Aku langsung terdiam.
            Aku kembali menutup kepalaku dengan gorden hijau itu. Melihat kondisi di luar dan ternyata langit mulai gerimis. Lapangan bola terlihat hampir basah seluruhnya. Pikiranku terpusat pada kondisi yang baru saja terjadi dan mengaitkannya dengan kejadian sebelumnya. Ya, aku memikirkan mengapa tanganku tiba-tiba gemetar tiap kali aku berhadapan dengan seseorang selain keluargaku. Tidak hanya itu saja, setiap kali aku menunjukkan diriku di depan khalayak ramai aku selalu tidak nyaman dan beberapa anggota tubuku bergetar secara tiba-tiba. Aku tak pernah mengerti mengapa diriku seperti ini. Dan mengapa Mirchea kali ini tak mau mendengarku? Aku mengepalkan tangan kananku dan memberikan tinjuku pada meja di depanku. Aku terus seperti itu hingga tak kusadari jari-jemariku memerah. Sakit memang, namun aku lebih tenang setelah menyakiti diriku.
            Malam mulai larut. Aku masih berkutat dengan buku fisika dan secangkir kopi susu di meja belajarku. Jam dinding menujukkan pukul 01.00 dini hari dan aku masih terjaga. Esok akan ada ulangan fisika sehingga malam ini aku rela begadang. Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku dan cukup membuyarkan pikiranku.
            “Harben. Tidur, Nak. Besok subuh lagi dilanjutkan.” Pinta Ibu dengan halus dari balik pintu kamarku.
            “Sebentar lagi, Bu.” Sahutku pelan. Ibu memang selalu penuh perhatian. Tiap malam ia naik ke kamarku untuk memastikan apakah aku masih terjaga dengan nyala lampu di kamarku dan ia akan membuka pintu kamarku ketika tak ada sahutan dariku.
            “Mau dibuatkan roti? Atau sudah mau tidur, Nak?” Kembali Ibu bertanya. Kukira Ibu sudah kembali turun.
            “Sudah selesai, Bu.”
            Aku terbangun tiba-tiba. Kepalaku terasa sangat pening. Aku terlonjak dari kasurku setelah menyadari sudah pukul 06.15. Subuhku terlewat. Payah! Aku benar-benar payah. Segera aku bergegas dan melaksanakan sholat subuh walaupun sudah lewat waktu. Dengan gesit aku menuju meja makan dan keluargaku sudah menunggu di bawah. Ayah dengan raut wajah datar sepertinya mengetahui bahwa subuhku terlewat.
            “ Baru sholat ya?” Tanya Ayah tiba-tiba padaku.
            “ Maaf, Yah.”
            “Jangan minta maaf ke Ayah, kau tau kepada siapa kau harus meminta maaf!” Nada Ayah meninggi.
            “Ayah bangunkan kau pukul lima, Harb. Namun Ayah kaget ketika kau bilang jangan ganggu aku. Kau mendorong Ayah.” Ucapan Ayah membuatku mengernyitkan dahi. Apa benar perkataan Ayah barusan? Mengapa aku begitu beringas? Aku bertanya dalam hati.
            “Sudah, habiskan dulu sarapannya dan segera berangkat.” Perintah Ibu pada kami.
            Pagi ini aku berangkat sendiri mengendarai motorku. Sepanjang perjalanan menuju sekolah aku masih terngiang akan cerita Ayah beberapa menit lalu. Setan apa yang telah merasuki tubuhku ketika aku tidur semalam? Atau aku hanya terlalu lelah? Entahlah, memang akulah si aneh.
            Seperti biasa hari-hariku di sekolah tak ada yang istimewa. Aku akan selalu menjadi anak yang tak dipedulikan oleh yang lainnya. Hari ini aku ulangan fisika dan aku telah mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Ketika merapikan tempat duduk, Mirchea yang duduk tepat di belakangku kembali menyolek pundakku.
            “Semangat! Kamu pasti seratus, Harb. Bosan aku liat seratus terus.” Seperti menyemangati namun juga mengejek. Entahlah.
            Stuck! Keringat bercucuran dari kepalaku. Aku kesulitan menjawab semua soal-soal ini. Apa yang telah kupelajari semalam hilang. Buyar pikiranku! Aku menoleh ke kanan-kiri memastikan kondisi sekitar. Semua terlihat baik-baik saja dan fokus mengerjakan soal. Tapi yang terjadi padaku malah sebaliknya. Aku kehilangan konsentrasi mendadak. Detak jantungku terasa lebih cepat dari sebelumnya dan jari-jemariku terasa dingin. Bel pun berbunyi. Waktu mengerjakan ulangan sudah habis dan aku tak bisa menjawab soal hingga tuntas.
            Ketika semua siswa meninggalkan kelas untuk istirahat aku lebih memilih mengambil posisi ternyamanku. Duduk di pojokan bersandarkan tembok. Aku memandang papan tulis tak berkedip. Kembali aku mengepalkan tangan namun kali ini aku memberikan tinju ku pada tembok tempat ku bersandar.
            “ Duk..duk..duk..” Hingga suaranya semakin cepat tak ada jeda. Aku kesal! Aku marah pada diriku. Kutendang kaki meja kayu ku berkali-kali. Aku belum juga mendapat ketenangan. Ku keluarkan sumpah serapah dari mulutku. Aku marah! Benar-benar marah.
            “Harb! Kenapa?” Suara Radu begitu keras ketika memasuki pintu dan menyaksikan aku bertingkah aneh untuk kesekian kalinya. Radu dengan cepat memegang tanganku. Membuatku tak bisa menggerakkan tanganku.
            “Tenang, Harben. Tenang.” Hanya ada Radu dan aku di ruangan itu. Perlahan aku bisa mengontrol emosiku. Aku kemudian terdiam dan menatap Radu. Aku sadar apa yang aku lakukan beberapa detik lalu sangat aneh dan Radu sudah biasa dengan itu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Radu setelah aku kembali tenang.
            Beberapa jam setelah kelakuan anehku Radu pun berbicara.
            “Karena ulangan fisika lagi?” Pertanyaan yang terlontar darinya seperti ia sudah sangat tahu betul penyebab kelakuan aneh diriku.
            “Ya. Aku marah dengan diriku sendiri. Aku marah!” Aku berteriak hingga Radu terlihat sedikit kaget.
            “Kamu memang selalu begitu kan?” Suara Mirchea dari belakang memecah kegentingan antara aku dengan Radu.
            “Aku dan Radu sudah terbiasa dengan tingkahmu, Harb. Sekarang hanya dirimu yang bisa mengontrolnya.”  Suasana menjadi hening sejenak.
            “Kau seharusnya sudah lebih kuat mengontrol dirimu. Bukan aku dan Radu yang harus terus memulai.” Kalimat terakhir Mirchea tadi sedikit menggangguku. Aku tak mengerti maksud perkatannya.
            Aku dan Radu saling bertatapan tak mengerti mengapa Mirchea seperti tahu akan hal yang terjadi ketika jam istirahat tadi. Radu segera membalikkan badan menghadap Mirchea dan entah apa yang ia katakan pada Mirchea sehingga Mirchea berpindah tempat duduk.
            “ Aku tidak akan menanyakan hal yang tadi. Anggap saja tidak terjadi apa-apa, Harb. Kutinggal sebentar.” Suara Radu pelan dan kemudian dia meninggalkanku duduk sendirian.
            Aku memandang sekitar. Mirchea sudah tidak ada di dalam kelas dan sepertinya ia keluar bersama Radu. Kulihat dari kaca jendela dan mereka berdua tidak ada di depan kelas. Pasti mereka sedang membicarakanku. Pikirku.
            Aku menyibukkan diriku dengan membolak-balikkan buku paket sejarah yang ada di atas meja. Beberapa teman mungkin ada yang memperhatikan dan menyadari bahwa aku tidak benar-benar sedang membaca melainkan hanya membolak-balik lembar demi lembarnya. Radu dan Mirchea belum juga kembali ke kelas.
            Baru saja aku akan keluar karena aku bosan, Mirchea masuk dan tak sedikit pun menatapku. Kemudian tak lama disusul Radu yang langsung memberikan senyuman kaku kepada ku. Apa yang mereka bicarakan? Mengapa Mirchea seperti tak mau menatapku? Aku membatin dalam hati.
            Matahari sudah siap kembali ke peraduan. Mega merah menghiasi langit sore. Selalu indah dan akan tetap indah. Dan aku juga kembali ke rumah ku untuk berkumpul bersama keluarga, tidak benar-benar berkumpul hanya sekedar saling bertatap muka satu sama lain.
            Handphone ku tiba-tiba bergetar tanda pesan masuk. Aku tak mengetahui nomor siapa yang tertera di layarnya namun aku penasaran dengan isi pesan tersebut. Isinya seperti ini :
            Harben, maaf...Aku bukan sok tahu. Hanya aku memang tahu dirimu sejak lama.
            Aku tak pernah menganggap dirimu aneh sama sekali karena aku tahu kau berbeda.
Setiap hari aku bersikap sama kepada semua orang dan juga kepadamu karena apa, karena aku tak mau membuatmu berpikiran bahwa kau aneh. Aku selalu meminta Radu mendekatimu agar kau merasa bahwa masih ada teman yang peduli padamu. Radu memarahiku tadi karena aku berkata yang tak pantas menurutnya. Tapi bagiku, kalimatku tadi tidak salah. Aku tahu kau memiliki duniamu yang lain, Harben. Dunia yang tak satu orang pun tahu dan yang kau ragukan. Kau hanya harus mampu mengontrol dirimu sekarang.       
            Tak perlu pikir panjang aku langsung dapat menebak pesan ini dari Mirchea. Aku baca pesan itu berulang dan aku baru menyadari satu hal. Setelah tiga tahun aku menghabiskan masa SMA ku, kusadari bahwa hanya Radu dan Mirchea lah teman yang benar-benar peduli padaku dan yang selalu menahanku untuk menyakiti diriku. Bahkan, orang tuaku di rumah tidak pernah seperti itu.
Ketika emosi ku tak terkontrol di rumah, aku akan menggigit bibirku sampai berdarah dan itu menandakan bahwa aku sangat kesal. Namun siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Ketika di sekolah aku duduk sendiri di pojokan melakukan hal yang hanya aku saja yang menikmatinya, siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Hanya Radu dan Mirchea. Aku bukan malu untuk berinteraksi dengan orang-orang. Aku bukan seorang lelaki pesakitan yang memiliki kelainan kejiwaan. Aku bukan anti sosial yang tak peduli dengan sekitarku. Dibalik diamku, aku mendengar dan aku memperhatikan semuanya tapi aku enggan untuk masuk ke dalamnya. Karena itu, aku memiliki dunia di mana hanya aku saja tahu. Duniaku nyaman dan kurasa tak perlu kujelaskan kepada orang-orang seperti apa duniaku. Tapi dibalik diamku, aku juga  merasa diriku aneh, aku sadari itu.
Sampai saat ini aku hanya akan lebih leluasa untuk menceritakan siapa diriku dengan Radu dan Mirchea. Dalam diamku, aku menganggap mereka istimewa. Begitu juga dengan orang tuaku. Aku tetap menaruh hormat kepada kedua orang tuaku. Hanya saja aku lebih memilih diam tak mengekspresikannya. Bahkan diamku akan selalu kupelihara. Entah sampai kapan.

No comments:

Post a Comment