Tuesday, June 11, 2013

GADIS PEMBAWA ANGKLUNG

               “Ria, suatu hari nanti teh kamu bakalan bawa angklung ini sampai luar negeri”. Seuntai ucapan yang sekaligus doa itu masih aku ingat hingga kini. Ucapan Ibuku sewaktu usiaku beranjak tiga belas tahun. Sekarang, ucapan itu menjadi kenyataan.
                Amerika, atau sapaan populernya Negeri Paman Sam , adalah tempatku hidup saat ini. Aku adalah mahasiswi di salah satu Universitas terkemuka di New York, Amerika Serikat. Selain mencari ilmu, aku juga pelatih seni musik di sekolah swasta setingkat SD di pusat kota New York. Saat ini, aku tinggal di sebuah apartemen, tentunya aku mempunyai sahabat karib yang satu apartemen denganku. Dia adalah Michelia, usianya sebaya denganku dua puluh dua tahun. Michelia adalah satu dari sekian banyak sahabatku yang non muslim di Universitasku, tetapi ia sangat menghargai dan menghormati segala yang ada pada diriku, termasuk hijabku dan agamaku.
                Michelia memiliki hobi yang sama denganku, yaitu bermain alat musik. Ia penyuka alat musik gitar dan aku angklung tentunya. Kami selalu bersama, saat berangkat kuliah maupun saat mengejarkan siswa-siswi bermain musik. Aku yang berasal dari Bandung,Jawa Barat Indonesia, tentu sangat berbeda dengan Michelia yang berasal dari Australia tepatnya di Kota Perth, Western Australia. Kami berbeda dari perspektif manapun.
                Aku menimba ilmu hingga ke Negeri Paman Sam ini karena aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Strata 1 (baca: S1) ku, syukurnya sama sekali aku sama sekali tak memberatkan orang tuaku  dan akupun sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup untuk memenuhi kehidupanku di sini.  Aku memang bukan gadis yang berasal dari keluarga berada, ayahku seorang pengerajin angklung dan ibuku hanya petani di ladang orang tetapi aku memilki impian yang besar, aku ingin membawa angklung-angklugku hingga keliling dunia.
                “hello Ria?” terdengar Michelia memanggilku.
                “come in, open the door”. Balasku singkat. Michelia memasuki kamar apartemenku dengan senyum termanisnya.
                “Ria, apakah aku mengganggumu? Aku hanya ingin mengajakmu menjenguk orang tuaku di Australia bulan depan, bagaimana?”. Tukas Michelia.
                Sejenak aku berfikir, sudah dua tahun aku tak mengujungi orang tuaku di Indonesia, aku hanya berkomunikasi dengan mereka melalui telepon dan bagiku itu belum cukup. Aku putuskan untuk ikut bersama Michelia dan kebetulan bulan depan kami libur musim semi. Aku menganggukkan kepala tanda setuju kepada Michelia, ia pun tersenyum lebar tanda senang.
                Michelia berencana hanya tiga minggu di Australia, karena kami adalah mahasiswi dengan segudang tugas. Sangat melelahkan. Tiba-tiba Michelia mengambil angklung milikku yang kuletakkan di sudut kecil ruang kamarku. Ia berkata bahwa ia sangat suka dengan alat musik itu karena keunikan bentuk dan menghasilkan suara yang beragam. Michelia pun memintaku untuk memainkan angklung tersebut, aku pun membunyikannya dengan dengan permainan nada dengan lagu kesukaan ibuku dahulu. Kami pun terbawa susasana, hingga jarum jam menunjukkan pukul 05.15 PM tepat waktunya untuk kami melatih anak-anak sekolah St.Jose bermain musik. Aku dan Michelia segera bergegas pergi bersama, sedangkan kamarku masih berantakan dan buku yang berserakan.
                Aku memang menyukai seni sejak kecil, dan mungkin aku terlahir sebagai anak seni. Banyak alat musik yang bisa kau mainkan, mulai dari yang tradisonal dari indonesia seperti, angklung, kecapi dan suling hingga alat musik tradisional seperti gitar, piano dan biola. Bakatku ini bermula secara tidak sengaja, tanpa tambahan kursus apapun.
                Aku memasuki ruang kelas 7A, dan Michelia memasuki ruang 8D.
                “Hai,Lihat! Miss Ria sudah datang.” Tukas ketua kelas kepada teman-temannya.
                Aku pun memberikan senyuman kepada mereka, mereka semua berdiri dan menyapaku dengan ucapan selamat sore. Dan aku membalasnya. Anak-anak di kelas 7A ini sangat ceria dan cerdas, mereka memang hanya difokuskan pada seni musik karena bakat mereka jatuh pada seni musik. Sama seperti  Michelia yang mengejarakan muridnya alat musik modern yaitu gitar dan aku mengajarkan alat musik angklung yang khas dari Indonesia. Aku bangga, karena Negeri Paman Sam menyukai dan sangat tertarik untuk belajar memainkan alat musik Indonesia.
                Berbagai macam alat musik ada di kelas ini, tiap anak berhak untuk memainkan semua jenis alat musik yang ada di kelas mereka. Hari ini aku mengajarkan mereka bermain angklung dengan nada yang dicampur musik barat. Mereka semua terlihat sangatexcited saat tau tentang materi hari ini. Aku mulai memainkan angklung dengan nada lagu “twinkle-twinkle little star”, alunan nada angklung ini memang indah. Membendung semangat dan kreatifitas bagi siswa-siswi ku. Mereka pun mencoba untuk menggarap nada sendiri dengan angklung itu. Memang, awalnya mereka sangat asing denga angklung karena di Amerika sama sekali tidak ada angklung.
                “Awesome! Can you hear that, guys?”. Teriak Mary dengan senang.
                 Mary adalah salah satu siswaku yang pandai mengubah nada-nada angklung menjadi nada baru garapannya sendiri, teman-temannya juga suka dengan karyanya. Mary pun mendekatiku dan berkata bahwa ia ingin menjadi sepertiku, membawa angklung hingga keliling dunia dan membagi ilmunya pada semua teman-temannya walaupun dia adalah warga Amerika yang awalnya sangat asing dengan angklung. Senyum haru kuberika padanya
                “Ya Mary, gapailah cita-citamu dan bagilah ilmu kamu agar bermanfaat bagi orang lain”.                 Senyum lebar dari wajah manis anak itu terlihat. Aku senang jika semua siswaku gembira saat belajar alat musik tradisional khas Indonesia itu. Tak teras waktu menunjukkan pukul 07.00 PM, saatnya jam pelajaran belajar dan muridku akan pulang sekarang. Pelajaran diakhiri dengan bernyanyi bersama.
                Aku menunggu Michelia di lobi. Lima menit berlalu. Michelia pun datang menghampiriku dan ia memberitahu akan ada eventpentas seni terbesar di Gedung Marvel, New York City minggu depan. Dan Michelia bilang aku diundang sebagai tamu istimewa dengan syarat, aku harus ikut bergabung untuk menampilkan permainan angklungku di hadapan lima ribu orang kebih. Seketika aku kaget dan merasa sangat senang. Tak henti-hentinya aku mengucapkan subhanallah dalam hati. Ini adalah kesempatan besarku untuk menjadikan angklungku semakin populer. Dan aku tamu istimewa? Wow! Senangnya. Aku memeluk Michelia dengan girang, dan aku bersedia dengan tawarannya.
                Pukul 11.00 PM. Aku hanya sendiri di kamarku setelah Michelia memutuskan untuk pergi mengurus acara pentas seni minggu depan, dan besok ia akan menjemputku untuk gladi bersih (baca: latihan). Tiba-tiba aku teringat akan hari itu, peristiwa yang sangat mengharukan sekaligus membanggakan. Saat itu aku ingat betul, usiaku sepuluh tahun. Aku berlari ke arah ayah dan ibuku  membawa piala asli dari perak setinggi 20 sentimeter yang aku dapatkan atas kepiawaianku bermain angklung. Saat itu lomba seni terbesar di Indonesia dan aku memperoleh juara satu dalam bidang seni tradisional. Senangku bukan main, ada ayah dan ibuku dan mereka memelukku.
                Ayah berkata, “ Ria, bapak senang atuh  kamu menang, itu karena kamu terus berlatih dan gigih,nak. inilah hasilnya.”
                Sesampaiku di rumah, aku langsung menata piala itu, piala itu berat bagiku dan aku tersadar bahwa itu adalah piala ku yang ke dua puluh. Kujejerkan piala-piala itu dengan rapi. Sungguh bahagia rasanya mendapat hasil istimewa dari uasah dan kerja keras diri sendiri.
                Ringtone Celine Dion berbunyi, telepon genggamku bergetar dan mengejutkanku. Sejujurnya mataku mulai merasa kantuk dan malas menjawab telepon itu. Hanya nomor saja yang tertera di screen handphone ku. Ketika aku menjawab telepon itu, suara lembut terdengar dari jauh sana. Suara lembut malaikat hidupku. Suara ibuku tercinta. Logat kental sundanya yang masih aku hafal. Aku baru sadar kenapa ibuku menelepon, karena Indonesia dan Amerika selisih dua belas jam dan indonesia saat ini pukul 11.00 pagi.
                “asslamualaikum,Ria. Kangen pisan ibu sama anak ibu, kamu baik-baik saja kan?” suara ibu begitu lembut.
                “ wa’alaikumussalam ibu, alhamdulillah Ria sehat walafiat. Ibu gimana? Ria juga kangen Indonesia bu.” Sambil berbicara, air mataku menetes.
                “ kapan kamu ke Indonesia nak? jenguk ibu sama bapak? Bapak kangen sama kamu katanya.” Suara ibu parau.
                “ sampaikan salam Ria ke bapak ya bu, doakan Ria bisa segera menengok ibu, Ria minta doanya selalu agar Ria diberi kemudahan dan kesehatan ya bu.” Setengah jam percakapan itu dan tak terasa. Mengharukan.
                Aku memang belum bisa mengunjungi ayah ibuku, sedangkan hatiku dibendung oleh rasa rindu yang amat sangat. Andai saja keuanganku mencukupi, aku akan langsung terbang ke tanah kelahiranku dan mencium tangan kedua orang tuaku. Malam berganti pagi, pagi berganti siang dan siang barganti sore.
                Pukul 05.00 PM. Michelia sudah menjemputku dengan mobil sedan miliknya. Kami langsung menuju Gedung Raksasa Marvel kami menempuh dua puluh lima menit perjalanan. Dan tidak lupa aku membawa lima jenis angklungku yang kuletakkan di jok belakang mobil Michelia. Sampai kami di lobi Gedung tersebut. Subhanallah! Sungguh megah gedung ini apalagi ruang di dalamnya, batinku. Aku akan perform dihadapan banyak mata dan akan menampilkan alat musik khas dari Negeri Garuda ku. YaRobbi... terimakasih atas kesempatan ini.
                Kami berdua dengan segera mengambil tempat latihan masing-masing. Michelia berganbung dengan grup Magentanya dan aku? Wow! Ternyata aku ditemani oleh seorang bule pemain gendang dan satu lagi pemain suling. Kami bertiga akan disatukan dlaam nada-nada merdu dari alat musik  Indonesia. Setelah latihan dan diselingi istirahat untukku sholat dan makan, akusempatkan diri untuk berbincang bersama pertner ku. Aku berkenalan dengan mereka, si pemian gendang bernama Rupert dan wanita pemain suling bernama Sophia, seorang muallaf dua tahun lalu. Kami bertiga hanyut dalam pembicaraan yang ngalor ngidul , mereka berdua sangat asik dan cepat akrab. Dan subhanallah, mereka juga sangat mengagumi Negeri Garuda ku.
                “Ria!.” Suara dari arah selatan mengagetkan ku.
                 Itu suara Michelia. Sekita aku membalikkan badan dan menghampirinya.
                “apapun yang terjadi saat kamu tampil minggu depan, tetaplah percaya diri dan tersenyum, OK?” kerlingan matanya membuatku ingin tertawa. Dan kami melakukan tos berdua.
                Hari terus berganti, dan hari-hariku disibukkan dengan latihan di Gedung Marvel. Hingga tak terasa, lima belas jam lagi penampilanku akan dimulai. Pukul 04.00 AM, aku sudah berada di Gedung Marvel bersama Michelia untuk berlatih setelah aku melaksanakan sholat subuh. Latihan selama enam jam setiap harinya membuatku sangat lelah, tetapi demi penampilanku dan angklungku, aku akan terus berlatih untuk penampilan terbaikku nanti malam.
                Aku sempatkan sholat magrib di sudut ruangan di Gedung Marvel ini, sebelum kru make up meriasku. Sungguh dagdigdug rasanya saat ini, begitupun dengan Michelia. Para tamu mulai berdatangan. Aku segera diajak Michelia untuk memasuki ruang make up.
                Michelia  terlihat begitu cantik malam ini dengan gaun blus birunya dan rambut coklatnya yang digelung. Dan aku berhasil di sulap menjadi salah satu cinderella dengan hijabku yang ditata sedemikian rupa. Kusempatkan berkata dengan cermin panjang dan pantulan diriku terlihat jelas di cermin itu. Terimakasih YaAllah, ternyata aku cantik juga.
      Pembawa acara sudah memanggil reguku, tepuk tangan meriah pun terdengar. Ini adalah waktuku tampil. Walaupun aku termasuk tamu istimewa karena bakatku yang sudah dikenal banyak orang di sini, tetapi tetap saja aku punya teman pendamping, Rupert dan Sophie. Jantungku semakin bedegup kencang. Pelan-pelan aku menarik napasku untuk menghilangkan nervous ku.Bismillahhirrahmannirrahim.... aku mulai menggerakkan angklungku, hingga terbawa suasana. Pelan tapi pasti aku mulai tenang dan santai memainkan angklungku. Lima belas menit waktu tampilku, kemudian tepuk tangan dan sorak sorai ramai terdengar. Suatu anugerah khususnya bagiku.
      Acara pentas seni itupun selesai tepat pada pukul 11.00 PM. Aku dan Michelia menyempatkan diri berfoto bersama menteri kesenian di sana dan para pejabat lainnya yang menjadi tamu undangan, tidak lupa aku membawa angklungku.
      Sesampai di apartemenku, aku benar-benar bersyukur dan berterima kasih kepada Allah swt karena atas izin darinya usahaku tak pernah sia-sia. Sampai-sampai tadi bapak menteri tak henti-hentinya memuji penampilanku dan sangat tertarik dengan angklungku. Beliau terisnpirasi membuat segala seni dari bambu. Dan beliau juga berencana akan mengkhususkan memainkan alat musik angklung kepada sekolah-sekolah seni musik di sini, mulai dari Elementary school (baca: SD) hingga Universitas. Tentunya angklung-angklungnya akan diimpor dari Indonesia, karena angklung spesial made in Indonesia. Beliau juga sangat berharap akan ada pengerajin angklung yang bertempat tinggal di Amerika dan mau memproduksi angklung di sini.
      Beberapa bulan setelah pentas seni tersebut, menteri kesenian di Amerika pun mengadakan pameran kesenian di Washington D.C. Disana terdapat banyak alat musik dari seluruh belahan dunia dan tidak lupa pula para pengerajinnya yang ikut didatangkan dari negara asal alat musik tersebut. Suatu kehormatan bagiku karena aku turut diundang dalam pameran ini.
      Sambil melihat alat-alat musik yang dipamerkan, aku juga sempat berbincang-bincang kembali dengan bapak menteri. Tetapi, ada satu sosok yang mengejutkanku, aku hafal dengan wajah itu. Lelaki berperawakan sudah tak tegap lagi, dengan rambut putih keseluruhan dan balutan kemeja batik hijau yang menutupi kulit hitamnya. Masyaallah! Sosok itu adalah ayahku. Dengan cepat aku menghampiri beliau yang sedang duduk bersama rombongan pengerajin alat musik dari Indonesia.
      “Ayah!” teriakku.
      Mataku mulai perih, dan air mata tak terbendung lagi.
      “Ayah, ini anakmu, Ria.” Aku langsung memeluknya dengan senyum haru yang mengembang.
      Tak lupa aku mencium tangan beliau dengan hormat. Keriput dan kasar, tetapi penuh perjuangan.  Berbincang-bincang dengan ayah sungguh bahagia rasanya, dengan izin Allah aku dipertemukan dengan ayahku. Ternyata ayah jauh-jauh dari Indonesia karena beliau dan temam-temannya diundang dalam acara ini sebagai tanda penghormatan kepada para pengerajin alat musik dunia.
      “ kenapa ayah tidak memberitahu kalau akan ke Amerika?” ucapku seperti anak kecil.
      “ ayah benar-benar tidak tahu kalau Washington itu di Amerika,nak. maafkan ayah ya.” Suara ayah parau.
      “Tidak apa-apa ayah tidak mengetahui Washington, bukan berarti ayah melupakan wajah anaknya”. Aku membatin.
      Kami melepas rindu bersama dan aku mengajak ayah berjalan-jalan mengelilingi Kota Washington malam ini. begitu indah dengan banyak lampu kelap-kelipnya.
      Tetapi, masih ada sepenggal rindu yang terpendam. Rindu kepada siapa? kepada ibuku tentunya.

No comments:

Post a Comment